Sabtu, 06 Februari 2021

PENGEMBANGAN PROFESI BK

 

Nama               : Tatik Hanjarsari

NIM                : 11832062

Kelas               : Bimbingan Konseling Islam/ 5B

Mata Kuliah    : Pengembangan Profesi BK

Dosen Pengampu: Barriyati, S.Pd., M.Pd.

Resume:

-          Kelebihan dan Keterbatasan Profesi Konselor

-          Peranan Asesmen dalam Konseling

-          Peranan Media dan Teknologi Informasi dalam Konseling

 

A.    Kelebihan dan Keterbatasan Profesi Konselor

Sebagai “helper” yang professional konselor hendaknya memiliki kelebihan-kelebihan. Kelebihan yang hendak dimiliki adalah:

1.      Sebagai mediator bagi konseli dalam menyelesaikan masalah.

            Berusaha membantu konseli dalam mencapai tujuan-tujuan da menyediakan diri untuk dapat membantu konseli dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

2.      Sebagai penunjuk dalam pemecahan masalah konseli.

            Konselor mau menyarankan pandangan alternatif dan menyediakan arahan kepada konseli untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.

3.      Keberanian untuk tidak sempurna.

            Maksudnya berani untuk gagal, atau berani menghadapisuatu kegagalan dalam layanannya. Seorang konselor berani menghadapi masalah dengan mata terbuka, konselor akan berani menampilkan dirinya tanpa harus berubah menjadi orang lain. Karena seorang konselor harus tahu bahwa itulah dirinya ( Rollo May, 181-182). Konselor sadar bahwa, manusia termasuk dirinya sebagai mahluk menjadi “ Un becoming “.

4.      Sebagai pribadi yang menarik.

            Seorang konselor adalah seorang yang memiliki pribadi yang menarik. Dengan kemenarikannya/ daya tarik yang dimiliki justru akan mengundang konseli atau orang yang dilayani terasa diundang untuk meminta layanan. Kebutuhan pengetahuan, atau pengetahuan luas akan mampu membantu konseli dari berbagai sisi. Dari tampilannya yang menarik, konseli tertarik untuk dekat, dengan tutur kata yang ramah, konseli senang berkonsultasi, dsb.

5.      Menjaga rahasia.

            Konselor mampu menjaga rahasia konseli. Berfokus pada pemikiran dan perasaan konseli dalam interviu dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak relevan serta mengakui keterbatasan diri. Mengakui keterbatasan dan bekerja dengan supervise. Saling bertukar pikiran dalam hal teori, konsep, dan pengalaman pribadi dalam interviu dengan konselor-konselor lain.

6.      Kemampuan mengungkap masalah berbagai masalah konseli.

            Konselor yang intelegent dapat mengungkapkan dan melahirkan banyak respon dari berbagai macam ragam situasi dan persoalan.

7.      Mampu melihat permasalahan dari berbagai aspek.

            Konselor professional mampu bertindak dari berbagai sudut pandang. Memecahkan masalah konseli bisa melakukannya dari berbagai teori, pendekatan, keterampilan, dan teknik-teknik konseling.

8.      Mampu berkomunikasi dengan konseli yang berbeda budaya.

            Mampu mengungkapkan pernyataan-pernyataan langsung tak langsung dalam jumlah maksimum guna berkomunikasi dengan orang-orang sebudaya dengannya dan juga orang dari sejumlah budaya lain.

9.      Pemahaman diri dan teori yang digunakan.

            Secara terlibat dengan pengujian diri dan wawasan pandangannya sendiri, menguasai secara mantap teori-teori baru, dan mengmbangkan secara sistematis teori-teori konseling sendiri yang unik. Setelah mendalami (studi) mungkin memutuskan untuk sepakat atau menerima penuh suatu ancangan teoritis. Di samping memahami diri secara akurat, atas kelebihan dan kekurangannya, maka konselor tidak berhenti untuk mendalami secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan.

10.  Memiliki rasa kepedulian.

            Konselor hendaknya peduli dengan apa yang teradi pada konseli. Perubahan –perubahan yang terjadi, baik ekspresi atau gerak menandakan ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh konselor.

Sebagai “helper” yang profesional sudah tentu seorang konselor mempunyai keterbatasan. Keterbatasan yang dimiliki adalah:

1.      Keterbatasan dalam menyelesaikan masalah konseli.

Sebagai seorang manusia tentunya konselor juga memiliki keterbatasa dalam menyelesaikan masalah, ini disebabkan karena masalah yang diahadapi oleh konseli terlalu berat untuk ditangani oleh seorang konselor.

2.      Keterbatasan dalam memahami individu lainnya.

Sebagaimana dijelaskan di depan, konselor secara profesional dan personal memiliki keterbatasan memahami konseli. Hal ini disebabkan karena keragamannya karateristik konseli. Selain itu, mungkin juga analisis pribadi konseli tidak sesuai teori yang digunakan oleh konselor dalam menganalisis masalah konseli.

3.      Demikian pula keterbatasan dalam membentengi diri dari permasalahan yang dihadapi oleh konseli.

Sebagai seorang konselor, kadang-kadang ikut larut dalam masalah yang dihadapi konseli. Seperti misalnya dia merasakan kesedihan yang berlarut-larut karena konseli menghadapi masalah yang cukup berat.

4.      Egoisme konselor.

Konselor berusaha memaksakan tujuan-tujuannya sendiri, mengikuti agendanya sendiri. Karena wawasan yang terbatas, ia hanya mampu bekerja hanya dalam satu kerangka kerja. Mungkin tidak bersedia menyediakan arahan dan dukungan yang jelas diperlukan oleh konseli. Berusaha membantu konseli dalam mencapai tujuan-tujuan konseli menurut agenda konseli dan menyediakan media yang dapat membantu konseli dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

5.      Berpegang pada satu cara respon.

Di dalam hal ini, konselor menyelesaikan masalah dengan cara sama antara konseli yang satu dengan konseli yang lain, walaupun konselor sudah menyadari adanya perbedaan karaterisrik antara individu satu dengan yang lainnya.

6.      Hanya berfungsi pada satu kerangka budaya saja.

Dalam proses konseling, biasanya konselor memasukkan budayanya sendiri untuk memecahkan masalah konseli yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan konselor. Padahal hal ini tidak boleh terjadi.

7.      Mendiskusikan atau membicarakan kehidupan konseli dengan orang lain tanpa izin.

Ada konselor yang mengekspos masalah konseli kepada pihak lain yang tidak bersangkut paut dengan konselor lain tanpa izin dari konseli. Sesuai denan asas kerahasiaan, ini adalah tidak benar.

8.      Konselor yang individual.

Artinya, konselor bertindak tanpa mengeanali keterbatasan sendiri dan bekerja tanpa supervisi. Tidak mau bertukar pikiran dalam kegiatan profesional dengan orang lain.

9.      Konselor yang kurang efektif dan efisien.

Memusatkan perhatian yang sungguh-sungguh pada hal-hal kecil yang tidak relevan bagi masalah konseli sehingga waktu yang digunakan menjadi tidak efisien dan efektif. Suatu saat dapat mengabaikan perasaan dan pemikiran konseli.

10.  Kekurang perhatian konselor.

Memperlakukan para konseli secara tidak tulus, tanpa perhatian penuh, tanpa persaan, dan mungkin dengan cara-cara yang merugikan atau membahayakan konseli.

11.  Tidak berpikir alternatif.

Secara membabi-buta (taklid) memakai satu jenis atau satu bdang teori tunggal dengan tidak memberikan pemikiran alternatif, atau tidak mampu sama sekali memaknakan secara sadar berbagai ancangan yang sistematis.

Dalam keterbatasan personal dan profesional,ada 7 sifat yang harus di milikiolehkonseloryaitu:

 

1.      Tingkahlaku yang Etis
            Sikap dasar seorang konselor harus mengandung ciri etis, karena konselor harus membantu manusia sebagai pribadi dan memberikan informasi pribadi yang bersifat sangat rahasia. Konselor harus dapat merahasiakan kehidupan pribadi konseli dan memiliki tanggung jawab moral untuk membantu memecahkan kesukarankonseli.

2.      Kemampuan Intelektual.

Konselor yang baik harus memiliki kemampuan intelektual untuk memahami seluruh tingkah laku manusia dan masalahnya serta dapat memadukan kejadian-kejadian sekarang dengan pengalaman-pengalamannya dan latihan-latihannya sebagai konselor pada masa lampau. Ia harus dapat berpikir secara logis, kritis, dan mengarah ke tujuan sehingga ia dapat membantu konseli melihat tujuan, kejadian-kejadian sekarang dalam proporsi yang sebenarnya, memberikan alternatif-alternatif yang harus dipertimbangkan oleh konseli dan memberikan saran-saran jalan keluar yang bijaksana. Semua kecakapan yang harus dimiliki seorang konselor di atas membutuhkan tingkat perkembangan intelektual yang cukupbaik.

3.      Keluwesan (Fleksibelity).

Hubungan dalam konseling yang bersifat pribadi mempunyai ciri yang supel dan terbuka. Konselor diharapkan tidak bersifat kaku dengan langkah-langkah tertentu dan sistem tertentu. Konselor yang baik dapat dengan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan situasi konseling dan perubahan tingkah laku konseli. Konselor pada saat-saat tertentu dapat berubah sebagai teman dan pada saat lain dapat berubah menjadi pemimpin. Konselor bersama konseli dapat dengan bebas membicarakan masalah masa lampau, masa kini, dan masa mendatang yang berhubungan dengan masalah pribadi konseli. Konselor dapat dengan luwes bergerak dari satu persoalan ke persoalan lainnya dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam proseskonseling.

4.      Sikap Penerimaan (Acceptance).

Seorang konseli diterima oleh konselor sebagai pribadi dengan segala harapan, ketakutan, keputus-asaan, dan kebimbangannya. Konseli datang pada konselor untuk meminta pertolongan dan minta agar masalah serta kesukaran pribadinya dimengerti. Konselor harus dapat menerima dan melihat kepribadian konseli secara keseluruhan dan dapat menerimanya menurut apa adanya. Konselor harus dapat mengakui kepribadian konseli dan menerima konseli sebagai pribadi yang mempunyai hak untuk mengambil keputusan sendiri. Konselor harus percaya bahwa konseli mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan yang bijaksana dan bertanggung jawab. Sikap penerimaan merupakan prinsip dasar yangharusdilakukanpadasetiapkonseling.

5.      Pemahaman (Understanding).

Seorang konselor harus dapat menangkap arti dari ekspresi konseli. Pemahaman adalah mengkap dengan jelas dan lengkap maksud yang sebenarnya yang dinyatakan oleh konseli dan di pihak lain konseli dapat merasakan bahwa ia dimengerti oleh konselor. Konseli dapat menangkap bahwa konselor mengerti dan memahami dirinya, jika konselor dapat mengungkapkan kembali apa yang diungkapkan konseli dengan bahasa verbal maupun nonverbal dan disertai dengan perasaannyasendiri.

6.      Peka terhadap rahasia pribadi.

Dalam segala hal konselor harus dapat menunjukkan sikap jujur dan wajar sehingga ia dapat dipercaya oleh konseli dan konseli berani membuka diri terhadap konselor. Jika pada suatu saat seorang konseli mengetahui bahwa konselornya menipunya dengan cara yang halus, konseli dapat langsung menunjukkan sikap kurang mempercayai dan menutup diri yang menghilangkan sikap baik antara dirinya dan konselornya. Konseli sangat peka terhadap kejujuran konselor, sebab konseli telah berani mengambil risiko dengan membuka diri dan khususnyarahasiahiduppribadinya.

7.      Komunikasi.
            Komunikasi merupakan kecakapan dasar yang harus dimiliki oleh setiap konselor. Dalam komunikasi konselor dapat mengekspresikan kembali pernyataan-pernyataan konseli secara tepat. Menjawab atau memantulkan kembali pernyataan konseli dalam bentuk perasaan dan kata-kata serta tingkah laku konselor. Konselor harus dapat memantulkan perasaan konseli dan pemantulan ini dapat ditangkap serta dimengerti oleh konseli sebagai pernyataan yang penuh penerimaan dan pengertian. Dalam koseling tidak terdapat resep tertentu mengenai komunikasi yang dapat dipakai oleh setiap konselor pada setiap konseling.

 

B.     Peranan Asesmen dalam Konseling

Assessment dalam kerangka kerja bimbingan dan konseling memiliki kedudukan strategis, karena posisi sebagai dasar dalam perencanaan program bimbingan dan konseling yang sesuai kebutuhan, dimana kesesuaian program dan gambaran kondisi konseli dan kondisi lingkungannya dapat mendorong pencapaian tujuan layanan bimbingan dan konseling.

Adapun pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya bertujuan agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, masyarakat serta lingkungannya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.

Guna mencapai tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan dan tugas-tugas perkembangannya; (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya; (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut; (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri; (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, lembaga tempat bekerja dan masyarakat; (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.

Cormier dan Cormier dalam buku Konseling Profesi yang Menyeluruh karangan Samuel T. Gladding, menyebutkan bahwa tujuan assessment ada enam yaitu:

1.      Mendapatkan informasi tentang permasalahan yang dipaparkan oleh konseli dan permasalahan lain yang terkait dengannya.

2.      Mengenali variabel pengontrol dan pengkontribusian yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.

3.      Menentukan apa tujuan/harapan konseli sebagai hasil dari konseling.

4.      Mengumpulkan data dasar yang akan dibandingkan dengan data berikutnya guna menilai dan mengevaluasi kemajuan konseli dan efek dari strategi treatment yang digunakan.

5.      Mendidik dan memotivasi konseli dengan membagi sudut pandang konselor mengenai situasi tersebut, meningkatkan penerimaan konseli terhadap treatment dan berkontribusi pada perubahan yang merupakan hasil dari terapi.

6.      Menggunakan informasi yang didapat dari konseli untuk merencanakan cara dan strategi perawatan yang efektif.

 

C.     Peranan Media dan Teknologi Informasi dalam Konseling

Hariyadi (1993) dalam Pendit (1994:37) teknologi informasi diberi batasan sebagai teknologi pengadaan, pengolahan, penyimpanan, dan penyebaran berbagai jenis informasi dengan memanfaatkan komputer dan telekomunikasi yang lahir karena “... adanya dorongan-dorongan kuat untuk menciptakan teknologi baru yang dapat mengatasi kelambatan manusia mengolah informasi...". Syahrul, Anini & Saleh (2004:1-2) istilah teknologi informasi (TI) sendiri mencakup hardware dan software komputer; suara, data, jaringan, satelit dan teknologi komunikasi lainnya; termasuk di dalamnya perangkat-perangkat pengembangan aplikasi dan multimedia.

Bimbingan dan konseling (BK) di Indonesia merupakan layanan yang sedang berkembang dalam dunia pendidikan. Salah satu hal yang ikut berperan dalam mengembangkan bimbingan dan konseling di Indonesia adalah perkembangan teknologi informasi (TI). Kemajuan TI memberikan kemudahan dalam berbagai hal, misalnya dapat mempermudah proses komunikasi, serta menghemat biaya jika ingin melakukan hubungan dengan orang lain yang jaraknya jauh. Karakteristik utama dari TI itu sendiri mencakup software dan hardware yang digunakan untuk memperoleh, menyebarkan, memproses ataupun menyimpan berbagai informasi yang bermanfaat dan dibutuhkan. Sesuai dengan karakteristik TI, maka peranan TI dalam bimbingan dan konseling sangatlah banyak, diantaranya mempermudah dalam merencanakan dan merancang pelayanan bimbingan dan konseling, memproses data terkait pelayanan bimbingan dan konseling, menciptakan aplikasi dalam membantu pelayanan bimbingan dan konseling, mengolah data pelayanan bimbingan dan konseling, dan masih banyak hal yang bermanfaat bagi terlaksananya bimbingan dan konseling yang efektif.

Dahulu bimbingan konseling masih diartikan sebagai hubungan face to face yaitu ketika konselor bertemu langsung dengan konseli, saat ini dengan kemudahan dan perkembangan TI konseli dari tempat yang sangat jauh dapat berhubungan secara langsung dengan barbagai media TI yang memungkinkan, semisal telpon, video call, pesan singkat ataupun email, tampilan video, power point, video, dll.

Kondisi tersebut tentunya merubah konsep awal yaitu konsep bimbingan dan konseling yang face to face harus menyesuaikan dengan perkembangan TI yaitu konseling dapat dilakukan dengan berbagai media TI yang sedang berkembang. Bimbingan dan konseling yang demikian maka tidak lagi terikat dengan konsep lama dan lebih pada suatu invoasi pelayanan BK. Perkembangan TI yang semakin canggih ini secara langsung dapat mendukung proses pemberian layanan BK yang lebih kreatif, menarik dan inovatif. Layanan BK yang sifatnya inovatif sudah tentunya dapat membangkitkan dan meningkatkan nilai tambah bagi pelayanan BK tujuan layanan dapat tercapai dengan baik. 

Dengan demikian, keberadaan TI sangat dibutuhkan dalam mendukung pelayanan bimbingan dan konseling. Kondisi tersebut juga diperkuat dalam konsep BK komprehensif dimana kedudukan teknologi informasi dalam bimbingan dan konseling masuk ke dalam berbagai layanan dalam bimbingan dan konseling. Ini berarti bahwa teknologi informasi menjadi salah satu sarana bagi terlaksananya layanan bimbingan dan konseling.